2 hari! Buku itu bisa gue baca ampe abis 2 hari! Sebenernya itungannya 1 hari sich. ½ hari pertama gue baca di rumah Ita, malem pula. ½ hari di hari berikutnya di rumah. Judulnya “Ayat-ayat Cinta”. Termasuk terlambat gue baca buku ini. Buku yang diterbitin pertama kali tahun 2004 ini, sudah mengalami 6 kali naik cetak. Cetakan terbaru adalah cetakan VII, Juli 2005. Masih baru, masih segar! Gue dapet buku ini dari kang Mumu. Hadiah perkawinan katanya. Dan tepat! Referensi dari buku ini menganjurkan, untuk cindera mata pernikahan, kado perpisahan, kado untuk sahabar, ihwan dan akhwat fillah, dan lain-lain. Sudah lumayan lama orang2 membicarakan tentang buku ini. Awalnya gue kurang tertarik buat membacanya. Pertama, dari judulnya. Bukan gue banget! Kedua, ada buku yang belum selesai gue baca. Beneran, gue ngga’ tertarik buat baca. Sampe suatu hari, kang Mumu bilang, “dah pernah baca 'Ayat-ayat Cinta' belum?”. “Belum.” “Ya udah, ntar aku hadiahin buku itu yach?.” “Mau kang!”. Ngga’ lama kemudian kang Mumu dateng ke mejaku dan ngasih buku itu. Weit...ntar dulu. Kenapa gue bilang mau, karena sebelum-sebelumnya, kang Mumu banyak cerita tentang isi buku ini, yang pada akhirnya bikin gue penasaran baca buku ini. Setelah gue terima buku, gue masih belum tau, kapan gue mau baca buku itu.
Hari Sabtu, pulang kantor gue langsung ke rumah Ita. Gue kasih tau kalo aku dapet hadiah buku dari kang Mumu. Ita bilang, “koq dah dapet hadiah? Khan acaranya masih seminggu lagi?”, gue bilang, “ngga’ papa kali. Hadiah pendahuluan (sambil nyengir kuda)”. Rencananya gue pengen ngasih jatah Ita buat baca duluan. Tapi hati berkata lain. Awalnya gue iseng, ambil buku itu dari tas, terus baca lembar per lembar. Lama kelamaan, begitu masuk ke bagian pertama dari cerita, keingintahuan lebih dalam buat baca buku ini jadi muncul.
Buku ini terdiri dari 33 bab. Kalo boleh mengatakan demikian. Yang menurut gue menarik, dan sebenernya baru sadar, kalo buku ini sebenernya tidak mencantumkan daftar isi. Kenapa menarik, dengan ngga’ adanya daftar isi, kita tidak mereka-reka apa yang terjadi di masing-masing bab. Walaupun sebenernya banyak buku-buku laen yang nyantumin daftar isi, tetep ajah menarik untuk dibaca (. Tapi untuk buku ini, itu yang gue rasain. Setiap lembar yang kita buka, yang kita baca makin meningkatkan keingintahuan kita akan cerita yang ditulis dari buku ini, seutuhnya. Dengan kata lain, kita ngga’ bisa baca buku ini dari sembarang bab. Harus runut! Kerunutan itu yang bisa bikin kita seolah-oleh berada di jalan cerita itu. Itu yang gue rasain loh. Kembali ke buku “Ayat-ayat Cinta”, cerita ini berlatarbelakang di Mesir. Tokoh sentral dari cerita ini adalah Fahri(gue susah nyari di bab mana nama tokoh ini disebutin secara lengkap), mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Penulis, oh iya, gue lupa ngasih tau siapa penulis dari buku ini. Nama penulisnya adalah Habiburrahman El Shirazy. Penulis memulai cerita dengan menggambarkan suasana Mesir, yang saat itu sedang dalam musim panas. Lalu digambarkan pula bagaimana kesibukan Fahri, pelajar sekaligus aktivis tersebut. Fahri tinggal di suatu flat dengan beberapa teman dari Indonesia yang juga mahasiswa. Dengan segala keterbatasan materi, mereka menjalani hidup di negeri orang dengan semangat, bahwa ada tanggungjawab dari kehadiran mereka di sana. Fahri digambarkan sebagai pemuda yang cerdas, teguh dalam memegang keimanan Islamnya, yang bikin gue jadi iri ngebaca tokoh Fahri ini. Diusia 26 tahun sudah mau S2, di Mesir pula. Hafal Al-Qur’an dan menjadi murid dari guru yang dianggap besar di Mesir. Selain itu juga, segala aktivitasnya, berdakwah, menterjemahkan naskah2, makin bikin gue berfikir, dengan umur yang sama gue belum bisa apa. Apakah logis gue membandingkan tokoh yang mungkin ngga’ nyata ini sama diri gue? Mungkin ajah! Setidaknya hal itu menjadi motivasi tersendiri buat gue, untuk bisa lebih bermanfaat bagi keluarga minimal.
Perjumpaan secara tidak sengaja dengan Aisha, menjadikan cerita di dalam buku ini menjadi lebih menarik. Di awal-awal cerita, dengan cerdiknya, penulis tidak menceritakan terlalu banyak akan tokoh Aisha ini. Malah, penulis memunculkan beberapa nama yang gue kira, akan menjadi istri Fahri pada akhirnya. Ada Maria, anak putri dari keluarga Botrous yang beragama kristen Koptik, agama kedua terbesar di Mesir setelah Islam. Ada Noura, gadis cantik yang malang akibat selalu mendapat siksaan dari keluarganya. Maria dan Noura tinggal dengan keluarga masing-masing di flat yang sama dengan Fahri, dkk. Ada juga Nurul, mahasiswi dari Indonesia yang sedari awal digambarkan bahwa Fahri memiliki potensi untuk menyukai gadis Indonesia ini.
Perjumpaan Fahri dan Aisha dimulai di suatu kereta ketika Fahri akan pergi untuk mengaji. Perjumpaan tidak sengaja ini yang menjadi titik awal ketertarikan Aisha kepada Fahri. Perjumpaan demi perjumpaan dilalui. Tapi perjumpaan-perjumpaan itu digambarkan oleh penulis bukan sebagai suatu perjumpaan yang menghambar nafsu. Perjumpaan-perjumpaan itu ada, untuk membahas masalah keilmuan yang pada akhirnya, memberikan hidayah kepada Alicia, seorang gadis Amerika, untuk mengenal islam lebih jauh. Secara asmara, Alicia tidak ada sangkut pautnya. Alicia melihat Fahri lebih sebagai guru, yang telah menjelaskan secara gamblang tentang islam serta seluk beluknya dalam sebuah buku yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Alicia tentang islam, yang digambarkan pada akhirnya, buku tersebut menjadi best-seller di Amerika dan menjadi panduan bagi masyarakat di sana untuk lebih mengenal islam.
Dengan segala kesibukannya, Fahri tetap memiliki rencana-rencana dalam hidupnya. Rencana-rencana itu dia tulis dalam 2 lembar karton. Salah satunya adalah, dalam umur 26-27 tahun, tesisnya harus selesai. Dan saat itu pula, dia menginginkan untuk hidup berkeluarga. Tak lama setelah itu, datang tawaran dari guru mengaji Fahri, bahwa ada seorang muslimah yang telah siap untuk menjadi seorang istri. Disinilah cerita mulai mengalami klimaks. Dimulai dengan perkenalan Fahri dengan calon istrinya, yang tidak lain...Aisha. Ohhh...dibagian ini gue mengalami kejutan. Aisha! Orang yang tidak diduga-duga. Tapi memang, kalo melihat penggambaran Aisha seperti yang dituliskan oleh penulis, Aisha adalah sosok yang tepat buat Fahri. Di bagian-bagian akhir cerita, kita akan bisa melihat lebih jauh, bagaimana sosok Aisha sebagai seorang istri sekaligus muslimah sejati.
Kalo boleh mengutip dari prolog-nya Hadi Susanto buat buku ini, “karena judul novel ini mengandung kata ‘cinta’, akan tidak lengkap rasanya jika kita tidak membahas kesan yang tertangkap bahwa novel ini merupakan novel romantis. Memang, novel ini juga novel asmara. Kehidupan Fahri diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dan perempuan. Perasaan Fahri diceritakan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. Pada bagian bulan madu Fahri dan Aisha jelas sekali digambarkan terjadinya adegan percintaan yang selalu merupakan bagian penting dari disebutnya novel asmara. Di sinilah kelebihan lain novel ini yang menceritakan hubungan suami-istri namun tidak terjatuh dalam kevulgaran”.
Cukup ah, gue nulis tentang buku ini. Pelajaran yang bisa gue petik dari buku ini, selalu sabar dalam menjalani hidup ini. Selalu ingat, bahwa hidup ini ada yang mengatur. Jangan lupa untuk selalu ikhtiar dan tawakkal. Yang paling penting, karena buku ini juga diperuntukkan untuk kado pernikahan, hormati wanita. Baginda nabi Muhammad SAW sangatlah menjunjung tinggi wanita. Dengan kata lain, sebagai suami, perlakukanlah istrimu dengan penuh kasih sayang. Kita sebagai laki-laki harus mampu mengerti kebutuhan mereka. Apabila kita sudah mampu seperti itu, insya Allah, kita tinggal memetik hasilnya. Cheers.
Happy reading!!!
Hari Sabtu, pulang kantor gue langsung ke rumah Ita. Gue kasih tau kalo aku dapet hadiah buku dari kang Mumu. Ita bilang, “koq dah dapet hadiah? Khan acaranya masih seminggu lagi?”, gue bilang, “ngga’ papa kali. Hadiah pendahuluan (sambil nyengir kuda)”. Rencananya gue pengen ngasih jatah Ita buat baca duluan. Tapi hati berkata lain. Awalnya gue iseng, ambil buku itu dari tas, terus baca lembar per lembar. Lama kelamaan, begitu masuk ke bagian pertama dari cerita, keingintahuan lebih dalam buat baca buku ini jadi muncul.
Buku ini terdiri dari 33 bab. Kalo boleh mengatakan demikian. Yang menurut gue menarik, dan sebenernya baru sadar, kalo buku ini sebenernya tidak mencantumkan daftar isi. Kenapa menarik, dengan ngga’ adanya daftar isi, kita tidak mereka-reka apa yang terjadi di masing-masing bab. Walaupun sebenernya banyak buku-buku laen yang nyantumin daftar isi, tetep ajah menarik untuk dibaca (. Tapi untuk buku ini, itu yang gue rasain. Setiap lembar yang kita buka, yang kita baca makin meningkatkan keingintahuan kita akan cerita yang ditulis dari buku ini, seutuhnya. Dengan kata lain, kita ngga’ bisa baca buku ini dari sembarang bab. Harus runut! Kerunutan itu yang bisa bikin kita seolah-oleh berada di jalan cerita itu. Itu yang gue rasain loh. Kembali ke buku “Ayat-ayat Cinta”, cerita ini berlatarbelakang di Mesir. Tokoh sentral dari cerita ini adalah Fahri(gue susah nyari di bab mana nama tokoh ini disebutin secara lengkap), mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar. Penulis, oh iya, gue lupa ngasih tau siapa penulis dari buku ini. Nama penulisnya adalah Habiburrahman El Shirazy. Penulis memulai cerita dengan menggambarkan suasana Mesir, yang saat itu sedang dalam musim panas. Lalu digambarkan pula bagaimana kesibukan Fahri, pelajar sekaligus aktivis tersebut. Fahri tinggal di suatu flat dengan beberapa teman dari Indonesia yang juga mahasiswa. Dengan segala keterbatasan materi, mereka menjalani hidup di negeri orang dengan semangat, bahwa ada tanggungjawab dari kehadiran mereka di sana. Fahri digambarkan sebagai pemuda yang cerdas, teguh dalam memegang keimanan Islamnya, yang bikin gue jadi iri ngebaca tokoh Fahri ini. Diusia 26 tahun sudah mau S2, di Mesir pula. Hafal Al-Qur’an dan menjadi murid dari guru yang dianggap besar di Mesir. Selain itu juga, segala aktivitasnya, berdakwah, menterjemahkan naskah2, makin bikin gue berfikir, dengan umur yang sama gue belum bisa apa. Apakah logis gue membandingkan tokoh yang mungkin ngga’ nyata ini sama diri gue? Mungkin ajah! Setidaknya hal itu menjadi motivasi tersendiri buat gue, untuk bisa lebih bermanfaat bagi keluarga minimal.
Perjumpaan secara tidak sengaja dengan Aisha, menjadikan cerita di dalam buku ini menjadi lebih menarik. Di awal-awal cerita, dengan cerdiknya, penulis tidak menceritakan terlalu banyak akan tokoh Aisha ini. Malah, penulis memunculkan beberapa nama yang gue kira, akan menjadi istri Fahri pada akhirnya. Ada Maria, anak putri dari keluarga Botrous yang beragama kristen Koptik, agama kedua terbesar di Mesir setelah Islam. Ada Noura, gadis cantik yang malang akibat selalu mendapat siksaan dari keluarganya. Maria dan Noura tinggal dengan keluarga masing-masing di flat yang sama dengan Fahri, dkk. Ada juga Nurul, mahasiswi dari Indonesia yang sedari awal digambarkan bahwa Fahri memiliki potensi untuk menyukai gadis Indonesia ini.
Perjumpaan Fahri dan Aisha dimulai di suatu kereta ketika Fahri akan pergi untuk mengaji. Perjumpaan tidak sengaja ini yang menjadi titik awal ketertarikan Aisha kepada Fahri. Perjumpaan demi perjumpaan dilalui. Tapi perjumpaan-perjumpaan itu digambarkan oleh penulis bukan sebagai suatu perjumpaan yang menghambar nafsu. Perjumpaan-perjumpaan itu ada, untuk membahas masalah keilmuan yang pada akhirnya, memberikan hidayah kepada Alicia, seorang gadis Amerika, untuk mengenal islam lebih jauh. Secara asmara, Alicia tidak ada sangkut pautnya. Alicia melihat Fahri lebih sebagai guru, yang telah menjelaskan secara gamblang tentang islam serta seluk beluknya dalam sebuah buku yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Alicia tentang islam, yang digambarkan pada akhirnya, buku tersebut menjadi best-seller di Amerika dan menjadi panduan bagi masyarakat di sana untuk lebih mengenal islam.
Dengan segala kesibukannya, Fahri tetap memiliki rencana-rencana dalam hidupnya. Rencana-rencana itu dia tulis dalam 2 lembar karton. Salah satunya adalah, dalam umur 26-27 tahun, tesisnya harus selesai. Dan saat itu pula, dia menginginkan untuk hidup berkeluarga. Tak lama setelah itu, datang tawaran dari guru mengaji Fahri, bahwa ada seorang muslimah yang telah siap untuk menjadi seorang istri. Disinilah cerita mulai mengalami klimaks. Dimulai dengan perkenalan Fahri dengan calon istrinya, yang tidak lain...Aisha. Ohhh...dibagian ini gue mengalami kejutan. Aisha! Orang yang tidak diduga-duga. Tapi memang, kalo melihat penggambaran Aisha seperti yang dituliskan oleh penulis, Aisha adalah sosok yang tepat buat Fahri. Di bagian-bagian akhir cerita, kita akan bisa melihat lebih jauh, bagaimana sosok Aisha sebagai seorang istri sekaligus muslimah sejati.
Kalo boleh mengutip dari prolog-nya Hadi Susanto buat buku ini, “karena judul novel ini mengandung kata ‘cinta’, akan tidak lengkap rasanya jika kita tidak membahas kesan yang tertangkap bahwa novel ini merupakan novel romantis. Memang, novel ini juga novel asmara. Kehidupan Fahri diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dan perempuan. Perasaan Fahri diceritakan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. Pada bagian bulan madu Fahri dan Aisha jelas sekali digambarkan terjadinya adegan percintaan yang selalu merupakan bagian penting dari disebutnya novel asmara. Di sinilah kelebihan lain novel ini yang menceritakan hubungan suami-istri namun tidak terjatuh dalam kevulgaran”.
Cukup ah, gue nulis tentang buku ini. Pelajaran yang bisa gue petik dari buku ini, selalu sabar dalam menjalani hidup ini. Selalu ingat, bahwa hidup ini ada yang mengatur. Jangan lupa untuk selalu ikhtiar dan tawakkal. Yang paling penting, karena buku ini juga diperuntukkan untuk kado pernikahan, hormati wanita. Baginda nabi Muhammad SAW sangatlah menjunjung tinggi wanita. Dengan kata lain, sebagai suami, perlakukanlah istrimu dengan penuh kasih sayang. Kita sebagai laki-laki harus mampu mengerti kebutuhan mereka. Apabila kita sudah mampu seperti itu, insya Allah, kita tinggal memetik hasilnya. Cheers.
Happy reading!!!
Komentar